Translate

Saturday, October 14, 2017

Perluasan Wilayah Islam Pada Masa Dinasti Umayyah~Ika Nurhasanah

ikanurhassanah@gmail.com




PERLUASAN WILAYAH ISLAM PADA MASA DINASTI UMAYYAH


 Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Sejarah Peradaban Islam Yang Di Ampu Oleh :
Prof. Dr. H. Abbas Pulungan

Oleh :
Ika Nurhasanah
Mahendra Siregar
Syamsiah Sagala

Semester          : III (Tiga)
Kelompok       :V (Lima)
Jurusan           : Pendidikan Agama Islam 2


Fakultas Ilmu Tarbiyah Dan Keguruan
Universitas Islam Negeri Sumatera Utara
Medan
2018



BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Berakhirnya kekuasaan khalifah Ali bin Abi Thalib mengakibatkan lahirnya kekuasan yang berpola Dinasti atau kerajaan. Pola kepemimpinan sebelumnya (Khalifah Ali) yang masih menerapkan pola keteladanan Nabi Muhammad, yaitu pemilihan Khalifah dengan proses musyawarah akan terasa berbeda ketika memasuki pola kepemimpinan dinasti-dinasti yang berkembang sesudahnya.
Bentuk pemerintahan dinasti atau kerajaan yang cenderung bersifat kekuasaan foedal dan turun temurun, hanya untuk mempertahankan kekuasaan, adanya unsur otoriter, kekuasaan mutlak, kekerasan, diplomasi yang dibumbui dengan tipu daya, dan hilangnya keteladanan Nabi untuk musyawarah dalam menentukan pemimpin merupakan gambaran umum tentang kekuasaan dinasti sesudah Khulafaurrasyidin.
Dekatnya masa dinasti Umayyah dengan jahiliah, banyaknya peperangan yang mereka lakukan, baik perang sipil maupun peperangan yang melawan musuh asing, dan kondisi sosial ekonomi yang belum stabil di dunia islam, beberapa faktor penentu lambatnya perkemnbangan intelektual pada masa ekspansi Islam. Namun benih telah disebarkan, dan pohong pengetahuan yang tumbuh pada masa awal dinasti Abbasiyah di Baghdad jelas telah berakar kuat pada masa sebelumnya.

1.2  Rumusan Masalah
a.       Bagaimana  Perluasan Wilayah Islam pada Masa Dinasti Umayyah?
b.      Bagiamana Perkembangan dan Kemajuan Islam pada Masa Dinasti Umayyah?
c.       Apa yang Menyebabkan Kehancuran Dinasti Umayyah?

1.3  Tujuan Pembelajaran
a.       Untuk Mengetahui Perluasan Wilayah Islam pada Masa Dinasti Umayyah.
b.      Untuk Mengetahui Perkembangan dan Kemajuan Islam pada Masa Dinasti Umayyah.
c.       Untuk Mengetahui Penyebab Kehancuran Dinasti Umayyah

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Perluasan Wilayah Islam Pada Masa Dinasti Umayyah
Ekspansi gelombang kedua ini dimulai di zaman Dinasti Umayyah setelah era Khulafaur Rasyidin berakhir. Mu’awiyah bin Abi Sufyan, sebagai pendiri dan khalifah pertama pada dinasti itu, melanjutkan kebijakan ekspansi Islam yang sempat terhenti sejak tahun-tahun akhir kekuasaan Usman bin Affan hingga kekuasaan Ali bin Thalib tumbang.
Mu’awiyah mengutus Uqbah bin Nafi untuk mengadakan ekspansi Islam ke wilayah Afrika Utara hingga berhasil merebut Tunis. Di sanalah pada tahun 50 H, Uqbah mendirikan kota baru bernama Qairawan yang selanjutnya terkenal sebagai salah satu pusat kebudayaan Islam. Tidak cukup sampai di situ, Mu’awiyah juga berhasil mengadakan perluasan wilayah Islam dari Khurasan sampai Sungai Oxus dan Afghanistan sampai ke Kabul. Angkatan laut Muawiyah juga dengan gagah berani menyerang Konstantinopel, ibu kota Bizantium.
Sedangkan ekspansi ke timur ini kemudian terus dilanjutkan kembali pada masa khalifah Abdul Malik bin Marwan. Abdul Malik bin Marwan mengirim tentara menyeberangi sungai Oxus dan berhasil menundukkan Balkanabad (Turkeministan), Bukhara (Uzbekistan), Khwarezmia (Iran), Fergana (Uzbekistan) dan Samarkand (Uzbekistan). Tentaranya bahkan sampai ke India dan menguasai Balukhistan, Sind dan daerah Punjab sampai ke Multan (Pakistan).
Dalam upaya perluasan daerah kekuasaan Islam pada masa Bani Umayyah, Muawiyah selalu mengerahkan segala kekuatan yang dimilikinya untuk merebut kekuasaan di luar Jazirah Arab, antara lain upayanya untuk terus merebut kota Konstantinopel. Ada tiga hal yang menyebabakan Muawiyah terus berusaha merebut Byzantium. Pertama, karena kota tersebut adalah merupakan basis kekuatan Kristen Ortodoks, yang pengaruhnya dapat membahayakan perkembangan Islam. Kedua, orang-orang Byzantium sering melakukan pemberontakan ke daerah Islam. Ketiga, Byzantium termasuk wilayah yang memiliki kekayaan yang melimpah. Pada waktu Bani Umayyah berkuasa, daerah Islam membentang ke berbagai negara yang berada di benua Asia dan Eropa. Dinasti Umayyah, juga terus memperluas peta kekuasannya ke daerah Afrika Utara pada masa Kholifah Walid bin Abdul Malik.[1]
Ekspansi ke barat secara besar-besaran dilanjutkan pada zaman Al-Walid bin Abdul-Malik. Masa pemerintahan al-Walid adalah masa ketenteraman, kemakmuran dan ketertiban. Umat Islam merasa hidup bahagia. Pada masa pemerintahannya yang berjalan kurang lebih sepuluh tahun itu tercatat suatu ekspedisi militer dari Afrika Utara menuju wilayah barat daya, benua Eropa, yaitu pada tahun 711 M. Setelah Aljazair dan Maroko dapat ditundukan, Tariq bin Ziyad, pemimpin pasukan Islam, dengan pasukannya menyeberangi selat yang memisahkan antara Maroko (magrib) dengan benua Eropa, dan mendarat di suatu tempat yang sekarang dikenal dengan nama Gibraltar (Jabal Thariq). Tentara Spanyol dapat dikalahkan. Dengan demikian, Spanyol menjadi sasaran ekspansi selanjutnya. Ibu kota Spanyol, Cordoba, dengan cepatnya dapat dikuasai. Dalam peperangan tersebut, tentara Kristen Spanyol di bawah pimpinan Raja Roderick pun dapat dikalahkan oleh pasukan Islam yang dipimpin Tariq bin Ziad. Dengan kekalahan itu, pintu untuk memasuki Spanyol menjadi terbuka lebar. Toledo –yang notabene ibukota Spanyol waktu itu—berhasil direbut. Sedangkan kota-kota lain seperti Sevilla, Malaga, Elvira dan Cordova, juga tak luput dari penaklukan tentara Islam.
Selanjutnya, Cordova kemudian menjadi ibukota pemerintahan Islam yang tetap menginduk ke pusat pemerintahan Islam di Kufah. Spanyol yang telah menjadi daerah Islam lantas dikenal dalam bahasa Arab dengan sebutan Al-Andalus. Pasukan Islam memperoleh kemenangan dengan mudah karena mendapat dukungan dari rakyat setempat yang sejak lama menderita akibat kekejaman penguasa.[2]
Pada masa kekhalifahan Hisyam bin Abdul Malik, pasukan Islam juga berupaya melakukan ekspansi ke wilayah Perancis. Saat itu, upaya ekspansi terutama dipimpin oleh Abdurrahman bin Abdullah al-Ghafiqi. Ekspansi tersebut juga dilakukan al-Ghafiqi karena termotivasi oleh kesuksesan penaklukan atas Spanyol oleh Thariq bin Ziad dan Musa bin Nushair.
Bersama balatentaranya, al-Ghafiqi menyerang kota-kota seperti Bordeux dan Poitiers. Dari kota Poiters, al-Ghafiqi berangkat untuk menyerang kota Tours. Tetapi dalam perjalanan itu antara kedua kota itu, ia ditahan oleh Charles Martel. Ekspansi ke Perancis pun gagal. Al-Ghafiqi bersama pasukannya akhirnya mundur kembali ke Spanyol. Meski sempat gagal karena ditahan Charles Martel, pasukan Islam tetap berupaya menyerang beberapa wilayah di Perancis, seperti Avignon dan Lyon pada tahun 743 M.
Pada zaman Dinasti Umayah pula, pulau-pulau yang terdapat di Laut Tengah, Majorca, Corsica, Sardinia, Crete, Rhodes, Cypurs dan sebagian Sicilla juga berhasil ditaklukkan oleh imperium Islam. Ekspansi yang dilakukan Dinasti Umayyah inilah yang membuat Islam menjadi imperium besar pada zaman itu. Berbagai bangsa yang melintasi berbagai ras dan suku di berbagai pelosok dunia bernaung dalam satu pemerintahan Islam.
Dengan keberhasilan ekspansi ke beberapa daerah, baik di timur maupun barat, wilayah kekuasaan Islam masa Bani Umayyah ini betul-betul sangat luas. Daerah-daerah itu meliputi Spanyol, Afrika Utara, Syria, Palestina, Jazirah Arab, Irak, sebagian Asia Kecil, Persia, Afganistan, Pakistan, Turkmenistan, Uzbekistan, dan Kirgistan di Asia Tengah.[3]

 Adapun Peta Wilayah dan Demografi Islam pada Masa Bani Umayah, diantaranya:
1.      Peta Wilayah Islam pada  Masa Bani Umayah
Masa pemerintahan Bani Umayah terkenal sebagai suatu era agresif, di mana perhatian tertumpu pada usaha perluasan wilayah dan penaklukan, yang terhenti sejak zaman kedua khulafaur rasyidin terakhir. Hanya dalam jangka waktu 90 tahun, banyak bangsa di empat penjuru mata angin beramai-ramai masuk ke dalam kekuasaan Islam, yang meliputi tanah Spanyol, seluruh wilayah Afrika Utara, Jazirah Arab, Syiria, Palestina, sebagian daerah Anatolia, Irak, Persia, Afghanistan, India dan negeri-negeri yang sekarang dinamakan Turkmenistan, Uzbekistan dan Kirgiztan yang termasuk Soviet Rusia.[4]
Menurut Prof. Ahmad Syalabi, penaklukan militer di zaman Umayah mencakup tiga front penting, yaitu sebagai berikut:
a.       Front melawan bangsa Romawi di Asia kecil dengan sasaran utama pengepungan ke ibu kota Konstatinopel, dan penyerangan ke pulau-pulau di Laut Tengah.
b.      Front Afrika Utara. Selain menundukan daerah hitam Afrika, pasukan muslim juga menyeberangi Selat Gibraltar, lalu masuk ke Spanyol.
c.       Front timur menghadapi wilayah yang sangat luas, sehingga operasi ke jalur ini dibagi dua arah. Yang satu menuju utara ke daerah-daerah di seberang sungai Jihun (Ammu Darye). Sedangkan yang lainya kearah selatan menyusuri Sind, wilayah India bagian barat.[5]
Kejayaan Dinasti Umayyah ditandai dengan capaian ekspansinya yang sangat luas. Langkah ekspansi ini menunjukkan stabilitas politik Umayyah yang cukup mapan.[6]  Perluasan di masa Umayyah meliputi:
a.       Perluasan ke Wilayah Barat
Muawiyah berusaha mematahkan imperium Bizantium, dengan merebut Kota Konstantinopel. Oleh karena itu selalu dilakukan pengintaian dan ekspedisi ke Wilayah Romawi (Turki). Kota itu dikepung pada tahun 50 H/670 M kemudian pada tahun 53-61 H/672-680 M, namun tidak berhasil ditaklukan. Muawiyah membentuk pasukan laut yang besar yang siaga di Laut Tengah dengan kekuatan 1.700 kapal. Dengan kekuatan itu dia berhasil memetik berbagai kemenangan. Dia berhasil menaklukan pulau Jarba di Tunisia pada atahun 49 H/669 M, kepulauan Rhodesia pada tahun 53 H/673 M, kepulauan Kreta pada tahun 55 H/624 M, kepulauan Ijih dekat Konstatinopel pada tahun 57 H/680 M.[7] Muawiyah juga menyerang pulau-pulau Sisilia dan pulau-pulau Arward.[8]
1)            Penaklukan di Afrika Utara
Pada zaman Utsman, orang-orang Arab telah mencapai Barqah dan Tripoli di Libia, kemudian Muawiyah bertekad merebut kekuasaan dari Romawi di Afrika Utara. Pada tahun 41 H/661 M Benzarat berhasil ditaklukkan, Qamuniah (dekat Qayrawan) ditaklukkan pada tahun 45 H/ 665 M, Sasat juga ditaklukkan pada tahun yang sama. Uqbah bin Nafi’ berhasil menaklukan Sirt dan Mogadishu, Tharablis, dan menaklukan Wadan kembali.[9] Dengan dukungan orang Barbar dia mengalahkan tentara Bizantium di Ifriqiyah (Tunisia). Pada tahun 670 M  Uqbah mendirikan kota Qayrawan sebagai kota Islam.[10] Kur sebuah wilayah di Sudan berhasil pula ditaklukan. Akhirnya, penaklukan ini sampai ke wilayah Maghrib Tengah (Aljazair).[11]
2)            Ekspansi ke Spanyol
Setelah Berjaya di Afrika Utara, tentara Islam ingin melanjutkan ekspansinya ke daratan Eropa. Tariq bin Ziyad berhasil menaklukkan kota Cordova, Granada dan Toledo (Toledo di masa itu adalah ibu kota kerajaan Ghot). Kemudian ia berhasil menaklukkan kota-kota Spanyol dan merebut kota Karma, Barcelona, dan Saragosa.[12][12]
b.      Perluasan ke Wilayah Timur
Kawasan Timur (Negeri Asia Tengah dan Sindh). Negeri-negeri Asia Tengah meliputi kawasan yang berada diantara sungai Sayhun dan Jayhun. Mayoritas penduduk di kawasan itu adalah kaum pagnis. Pasukan Islam menyerang wilayah Asia Tengah pada tahun 41 H/661 M. pada tahun 43 H/663 M mereka mampu menaklukan sebagian wilayah Thakharistan pada tahun 45 H/665 M. mereka sampai ke wilayah Quhistan. Pada tahun 44 H/664 M Abdullah bin Ziyad tiba di pegunungan Bukhari.
 Pada tahun 44 H/664 M kaum muslimin menyerang wilayah Sindh dan India. Penduduk di tempat itu selalu melakukan pemberontakan sehingga membuat kawasan itu tidak selamanya stabil kecuali di masa pemerintahan Walid bin Abdul Malik.[13]
2.2 Perkembangan dan Kemajuan Islam pada Masa Dinasti Umayyah

Pemindahan ibu kota pemerintahan Islam dari Madinah ke Damaskus melambangkan zaman imperium baru dengan menggesernya untuk selama-lamanya dari pusat Arab, yakni Madinah yang merupakan pusat agama dan politik kepada sebuah kota yag kosmopolitan. Dari kota inilah Dinasti Umayyah melnjutkan ekspansi kekuasaan Islam dan mengembangkan pemerintahan sentral yang kuat, yaitu sebuah imperium Arab yang baru.
Daerah kekuasaannya, selain yang diwariskan oleh Khulafa ar-Rasyidin, telah pula menguasai Andalu, Afrika Utara, Syam, Irak, Iran, Khurosan, terus ke Timur sampai benteng Tiongkok. Dalam daerah kekuasaannya terdapat kota-kota pusat kebudayaan, seperti: Yunani, Iskandariyah, Antiokia, Harran, Yunde, Sahfur, yang dikembangkan oleh ilmuwan-ilmuwan beragama Yahudi, Nasrani dan Zoroaster. Setelah masuk Islam para ilmuwan itu tetap memelihara ilmu-ilmu peninggalan Yunani itu, bahkan mendapat perlindungan. Di antara mereka ada yang mendapat jabatan tinggi di istama Khalifah. Ada yang menjadi dokter pribadi, bendaharawan, atau wazir, sehingga kehadiran mereka, sedikit banyak, mempengaruhi perkembangan ilmu pengetahuan.[14]
Selain wilayah kekuasan yang sangat luas, pada Dinasti Umayyah kebudayaan juga mengalami perkembangan, antara lain seni sastra, seni rupa, seni suara, seni bangunan, seni ukir, dan lain sebagainya. Pada masa ini, telah banyak bangunan hasil rekayasa umat Islam dengan mengambil pola Romawi, Persia dan Arab. Salah satu bangunan itu adalah mesjid Damaskus yang dibangun pada masa pemerintahan Walid bin Abdul Malik dengan hiasan dinding dan ukiran yang sangat indah. Arsitektur masjid ini telah memberi pengaruh terhadap seni bangunan mesjid seluruh dunia. Dari masjid inilah, arsitektur Islam mulai mengenal lengkungan, menara segi empat, dan maksurah (pagar tembok pada masjid yang memisahkan banguan masjid dengan kuburan yang ada di dekatnya, rumah yang luas, kisi-kisi atau layar kayu pada masjid untuk melindungi dan memisahkan imam dari kebisingan).[15]

A.      Masjid
Selama berabad-abad, Masjid Umayyah menjadi salah satu ikon ibukota Dasmakus. Masjid telah berkali-kali mengalami berpindah tangan. Pada awalnya, bangunan ini merupakan kuli Yupiter peninggalan Romawi kuno, yang kemudian beralih fungsi menjadi  Gereja St. John the Baptist hingga akhirnya menjadi masjid dibawah kepemimpianan Dinasti Umayyah.

Gambar Masjid Pada Masa Dinasti Umayyah


   Gambar Masjid Setelah Masa Dinasti Umayyah
            Dalam sejarahnya, Masjid Umayyah memang berdiri di tanah yang dianggap suci selama seidaknya 3.000 tahun. Sekitar 1.000  tahun SM. Kaum Aram  membangun kuil di lokasi masjid, berdiri sebagai tempat pemujaan terhadap Hadad, dewa badai dan petir. Sebuah Basal orthostat (batu) yang brasal dari periode ini.
Menurut catatan para ahli sejarah, pada awal abad pertama Masehi, bangsa Romawi tiba di Damaskus dan membangun sebuah kuil besar untuk Dewa Jupiter atas kuil Aram. Kuil Romawi ini berdiri diatas serambi empat persegi panjang (temenos) yang berukuran sekitar 385 m x 305 m, dengan menara persegi di tiap sudutnya. Bagian dinding luar temenos masih bertahan, namun hampir tak ada yang tersisa dari kuil itu sendiri.
            Pada akhir abad ke-4, kawasan kuil menjadi situs suci Kristen. Kuil Jupiter dihancurkan dan sebuah Gereja dibangun di atasnya sebagai persembahan kepada yohanes sang pembaptis, yang dianggap sebagai nabi (Nabi Yahya) oleh umat kristen Islam.
Selain kuil kecil yang berisi kepala sang Pembaptis Yohanes, di dalam kompleks masjid, tepatnya di taman kecil sebelah dinding utara, terdapat makam Salahuddin al-Ayyubi, salah satu panglima Islam yang terkenal dalam sejarah.
Masjid Umayyah direnovasi beberapa kali akibat kebakaran pada tahun 1069, 1401, dan 1893. Pada tahun 2001, Paus Yohanes Paulus II mengunjungi masjid ini, terutama untuk mengunjungi relik Yohanes Sang Pembaptis. Ini adalah pertama kalinya seseorang paus berkunjung ke masjid.
Masjid Umayyah berbentuk segi emapat dengan ukuran 1577 x 100 m, yang setengahnya adalah ruangan terbuka dengan air mancur ditengahnya. Bentuk masjid ini telah menjadi inspirasi berbagai mesjid indah di dunia, seperti Al-Azhar di Kairo, Masjid Agung Cordoba di Spanyol, dan Masjid Agung Bursa di Turki.
Selain Masjid Umayyah yang menjadi ikon kota Dasmakus, di kota Aleppo juga terdapat masjid yang dibangun pada masa Dinasti Umayyah, yaitu Masjid Agung Alepoo atau Jami’ Bani Umayyah al-kabir yang didirikan pada tahun 715 oleh Khalifah al-Walid I yang diteruskan oleh penggantinya Sulaiman. Dan salah satu masjid yang juga terkenal di Alepoo adalah Masjid Ar-Rahman, dengan arsitektur dan desain yang sangat megah.
B.       Ilmu Pengetahuan
            Dalam bidang ilmu pengetahuan, Dinasti Umayyah telah berhasil mencapai kemajuan yang luar biasa. Pada saat itu, perkembangan tidak hanya meliputi ilmu pengetahuan agama tetapi juga ilmu pengetahuan umum, seperti ilmu kedokteran, ilmu pasti, filsafat, astronomi, geografi, sejarah, bahasa, dan sebagainya. Kota yang menjadi pusat kajian ilmu pengetahuan, antara lain Damaskus, Kufah, Makkah, Madinah, Mesir, Cordoba, Granda dan lain-lain.
            Menurut Ibnu Jubair, di kota Dasmakus berdiri sebuah rumah sakit tua dan sebuah rumah sakit baru. Rumah sakit pertama yang dibangun oleh umat islam adalah RS Al-Nuri yang dibangun pada tahun 706 M oleh khalifah Walid bin Abdul Malik.

C.      Diwan
            Diwan berasal dari bahasa persia diwanah yang berarti catatan atau daftar. Nama ini kmudian berkembang menjadi empat yang digunakan untuk menyimpan diwan. Agar lebih praktis nama ini disingkat menjadi diwan. Pada mulanya, diwan ini didirikan pertama kali oleh khalifah Umar bin Khathab.
            Pada masa kekhalifahan Mu’awiyyah, setiap peraturan yang dikeluarkan oleh khalifah harus disalin dalam satu register, kemudian yang asli harus disegel dan dikirim ke alamat yang dituju. Selain itu ada juga diwan lain yang posisinya berada di bawah ke empat tersebut (diwan pajak, diwan persuratan, diwan penerimaan, dan diwan stempel), seperti diwan yang mengatur keperluan polisi dan tentara.

D.      Barid
            Khalifah Mu’awiyyah telah dibentuk auatu badan atau lembaga yang pada masa sekarang dikenal dengan nama kantor pos, yang bertugas mengantarkan surat-surat maupun dokumentasi penting lainya ke suatu wilayah, terutama dalam pemerintahan Islam. Lembaga ini disebut dengan badrid yang telah dijadiakan oleh para kaisar Persia dan Romawi pada waktu itu.
            Ketika Dinasti Umayyah diperintahkan oleh Khalifah Abdul Malik bin Marwan, keberadaan barid ini semakin berperan penting dalam jalannya roda pemerintahannya. Namun beberapa riwayat juga menyebutkan bahwa barid disebut juga dengan Badan Intelijen Negara yang berfungsi sebagai penyampaian berita-berita rahasia daerah kepada pemerintahan pusat.

E.       Kepolisian
       Pada awalnya, Dapertemen kepolisian merupakan bagian dari Deapertemen kehakiman yang betugas melaksanakan perintah hakim dan keputusan-keputusan pengadilan. Namun, Dapertemen terpisah dari kehakiman dengan mengawasi dan mengurus soal-soal negara.
Pada masa ini juga, markas kepolisian bertambah menjadi dua setelah Shalih bin Ali al-Abbasi mendirikan Darussyutrhah al-‘Ulya, suatu markas kepolisian yang berlokasi di al-Mu’askar pada 132 H, setelah sebelumnya telah didirikan pada Darussyutrhah as-sufla, yang berlokasi di Fusfat.   

F.       Angkatan Perang
       Kekuatan angkatan perang Dinasti Umayyah telah mampu menaklukan kawasan hingga Eropa. Kemudian mereka melanjutkan kekuasaan yang telah dibangun oleh Khalifah Umar bin Khathab yang sebelumnya telah membangun Dapertemen Tentara yang bertugas mengidentifikasi nama-nama, sifat- sifat, gaji dan pekerjaan mereka dan membagi tentara menjadi lima kesatuan, diantaranya:
a)      Jantung Tentara; berada di bagian tengah kesatuan,
b)      Kesatuan Kanan; berada disebelah kanan,
c)      Kesatuan Kiri; psisinya disebelah kiri,
d)     Kesatuan Pendahuluan; terdiri atas penunggang kuda yang berada di depan,
e)      Kesatuan Penggiring; berada di belakang kesatuan.
       Selain berhasil membentuk kekuatan angkatan perang, salah satu perkembangan pada Dinasti Umayyah adalah dibuatnya pabrik kapal laut pada tahun 54 H.
G.      Peradilan
Pada masa Dinasti Umayyah, peradilan dibagi menjadi tiga tingkatan sebagaimana berikut:
a)      Al-Qadla’: yaitu peradilan yang menyelesaikan perkara-perkara yang berhubungan dengan agama.
b)      Al-Hisab, peradilan yang mengurus masalah-masalah pidana.
c)      Al-Mazhalim, yaitu lembaga tertinggi yang mengadili para penjabat tinggi dan hakim-hakim.[16]

2.3 Masa Keruntuhan Dan Kehancuran Dinasti Umayyah

            Sepeninggalan Umar bin Al-Aziz, kekuasaan Bani Umayyah berada di bawah Khalifah Yazid bin Abdd Al-Malik (720-724 M). Penguasa yang satu ini terlalu gandrung dengan kemewahan dan kurang memperhatikan rakyatnya. Dengan latar belakang dan kepentingan etnis politis, masyarakat menyatakan kontrofantasi terhadap pemerintahan Yazid. Bahkan  di zaman Hisyam bin Abdul Malik (724-743 M). Di zaman dia, muncul satu kekuatan baru yang menjadi tantangan berat bagi pemerintahan Bani Umayyah. Kekuatan tersebut berasal dari golongan mawali (umat islam non-arab yang berasal dari persia, Armena, dan lain-lain). Dalam perkembangan berikutnya, kekuatan baru ini mampu menggulingkan dinasti Umayyah dan menggantikannya dengan dinasti baru, yaitu Dinasti Abbas.
            Sepeninggalan Hisyam bin Abdul Malik, kahlifah-khalifah Bani Umayyah yang tampil bukan hanya lemah tetapi juga bermoral buruk. Akhirnya pada tahun 750 M, daulat Umayyah digulingkan Bani Abbas yang bersekutu dengan Abu Muslim Al-Khurasni. Marwan bin Muhammad, khalifah terakhir Bani Umayyah, melarikan diri di Mesir, dan ditangkap dan dibunuh disana.
            Adapun faktor-faktor yang menyebebkan dinasti Bani Umayyah diantaranya:
1.    Sistem pergantian khalifah melalui garis keturunan adalah sesuatu yang baru bagi tradisi Arab, yang lebih menentukan aspek senioritas, pengaturannya yang tidak jelas. Ketidakjelasan sistem pergantian khalifah ini menyebabkan terjadinya persaingan tidak sehat di kalangan anggota keluarga istana.
2.    Latar belakang terbentuknya dinasti Umayyah tidak dapat  dipisahkan dari bebagai konflik politik yang terjadi di masa Ali. Sisa-sisa Syiah (para pengikut Ali) dan khawarij terus menjadi gerakan oposisi, baik secara terbuka seperti di masa awal dan akhir maupun secara tersembunyi seperti di masa pertengahan kekuasaan Bani Uamyyah. Penumpasan terhadap gerakan-gerakan inibanyak menyedot kekuatan pemerintah.
3.    Pada masa kekuasaan Bani Umayyah, pertentangan etnis antara suku Arabiyah  Utara (Bani Qais) dan Arab Selatan (Bani KAlb) yang sudah ada sejak zaman sebelum Islam semakin runcing. Perselisihan ini mengakibatkan para penguasa Bani Umayyah mendapat kesulitan untuk menggalang persatuan dan kesatuan. Di samping itu, sebagian besar golangan timur merasa tidak puas karna status Mawali itu menggambarkan suatu inferioritas, ditambah dengan keangkuhan Bangsa Arab yang diperhatikan pada masa Bani Umayyah.
4.    Lemahnya pemerintahan daulah Bani Uamayyah juga disebabkan oleh sikap hidup mewah di lingkungan istana sehingga anak-anak khalifah tidak sanggup memikul beban berat kenegaraan tatkala mereka mewarisi kekuasaan. Di samping itu, sebagian besar golongan awam kecewa karena perhatian penguasa terhadap perkembangan agama sangat kurang.
5.    Penyebab langsung runtuhnya kekuasaan dinasti Bani Umayyah adalah munculnya kekuatan baru yang dipelopori oleh keturunan Al-Abbas bin Abbas Al-muthalib. Gerakan ini mendpat dukungan penuh dadri Bani Hasyim dan golongan Syiah. Dan kaum Mawali yang merasa dikelasduakan oleh pemerintah Bani Umayyah.[17]






BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Ekspansi gelombang kedua ini dimulai di zaman Dinasti Umayyah setelah era Khulafaur Rasyidin berakhir. Mu’awiyah bin Abi Sufyan, sebagai pendiri dan khalifah pertama pada dinasti itu, melanjutkan kebijakan ekspansi Islam yang sempat terhenti sejak tahun-tahun akhir kekuasaan Usman bin Affan hingga kekuasaan Ali bin Thalib tumbang. Hanya dalam jangka waktu 90 tahun, banyak bangsa di empat penjuru mata angin beramai-ramai masuk ke dalam kekuasaan Islam, yang meliputi tanah Spanyol, seluruh wilayah Afrika Utara, Jazirah Arab, Syiria, Palestina, sebagian daerah Anatolia, Irak, Persia, Afghanistan, India dan negeri-negeri yang sekarang dinamakan Turkmenistan, Uzbekistan dan Kirgiztan yang termasuk Soviet Rusia.
Sedangkan selama Dinasti Umayyah perkembangan dan kemajuan islam membawa peninggalan yang samapai saat ini masi ada, diantaranya: Masjid, Ilmu Pengetahuan, Diwan, Barid, Kepolisian (Shurthah), Angkatan Perang, dan Peradilan.
            Sepeninggalan Hisyam bin Abdul Malik, kahlifah-khalifah Bani Umayyah yang tampil bukan hanya lemah tetapi juga bermoral buruk. Akhirnya pada tahun 750 M, daulat Umayyah digulingkan Bani Abbas yang bersekutu dengan Abu Muslim Al-Khurasni. Marwan bin Muhammad, khalifah terakhir Bani Umayyah, melarikan diri di Mesir, dan ditangkap dan dibunuh disana. Maka berakhirlah kekuasaan Dinasti Umayyah yang berlangsung selama kurang lebih 90 tahun.
3.2 Saran
Dari makalah di atas sangat jauh dari sempurna, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran. Yang dimana sifatnya membangun untuk kesempurnaan makalah. Dan penulis menyadari bahwa masih sangat banyak kesalahan dari segi bahasa utamanya dari segi  sastra bahasa, dan susunan kata. Demikian. Maka itu penulis demi kesempurnaan makalah ini.







                                                DAFTAR PUSTAKA

Al-‘Usairy, Ahmad. 2013. Sejarah Islam. Jakarta: Akbar Media.
Al-Azizi, Abdul Syukur. 2014. Kitab Sejarah Peradaban Islam Terlengkap. Yogyakarta:
             Saufa.
Fu’adi, Imam. 2000. Sejarah Peradaban Islam. Yogyakarta: Teras.
Munir, Samsul. 2009. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Amzah.
Murodi. 2003. Sejarah Kebudayaan Islam. Semarang: Karya Toha Putra.
Thoir, Ajid. 2004. Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam. Jakarta: PT. Raja
             Grafindo Persada.
Yatim, Badri. 2000. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada.



[1]Murodi. Sejarah Kebudayaan Islam .(Semarang: Karya Toha Putra. 2003), hlm.41.
[2]Ajid Thoir. Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam. (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada. 2004), hlm.40.
 
[3]Ibid, Hal 40  
[4]Samsul Munir Amin, Sejarah peradaban Islam, (Jakarta: Amzah, 2009), hlm.129.
[5]Ibid, hlm.129.
[6]Imam Fu’adi, Sejarah Peradaban Islam, (Yogyakarta: Teras, 2000),  hlm. 74.
[7]Ahmad Al-‘Usairy, Sejarah Islam, (Jakarta: Akbar Media. 2013), hlm.188-189.
[8]Imam Fu’adi, op.cit., hlm. 75.
[9]Ahmad al-‘usairy, op.cit., hlm. 189.
[10]Imam Fu’adi, op.cit., , hlm. 76.
[11]Ahmad al-‘usairy, op.cit. , hlm. 189.
[12]Imam Fu’adi, op.cit., hlm. 77-78.
[13]Ahmad Al-‘Usairy,op.cit.,  hlm.189.
[14] Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam, Jakarta: Prenada Media, hal. 38-39.
[16]Abdul Syukur Al-Azizi, Kitab Sejarah Peradaban Islam Terlengkap, (Cet.1, Yogyakarta: Saufa, 2014), Hlm. 157-168.
[17] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), h. 48-49

CBR Multikultural (UINSU)

Critical Book Report PENDIDIKAN MULTIKULTURAL Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pendidikan Multikultural Dosen Penga...