PERLUASAN WILAYAH ISLAM PADA MASA DINASTI UMAYYAH
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Sejarah Peradaban Islam Yang
Di Ampu Oleh :
Prof. Dr. H. Abbas Pulungan
Oleh
:
Ika Nurhasanah
Mahendra Siregar
Syamsiah Sagala
Semester : III (Tiga)
Kelompok :V
(Lima)
Jurusan : Pendidikan Agama Islam 2
Fakultas Ilmu
Tarbiyah Dan Keguruan
Universitas Islam
Negeri Sumatera Utara
Medan
2018
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Berakhirnya kekuasaan khalifah Ali bin Abi Thalib mengakibatkan lahirnya
kekuasan yang berpola Dinasti atau kerajaan. Pola kepemimpinan sebelumnya
(Khalifah Ali) yang masih menerapkan pola keteladanan Nabi Muhammad, yaitu
pemilihan Khalifah dengan proses musyawarah akan terasa berbeda ketika memasuki
pola kepemimpinan dinasti-dinasti yang berkembang sesudahnya.
Bentuk pemerintahan dinasti atau kerajaan yang cenderung bersifat kekuasaan
foedal dan turun temurun, hanya untuk mempertahankan kekuasaan, adanya unsur
otoriter, kekuasaan mutlak, kekerasan, diplomasi yang dibumbui dengan tipu
daya, dan hilangnya keteladanan Nabi untuk musyawarah dalam menentukan pemimpin
merupakan gambaran umum tentang kekuasaan dinasti sesudah Khulafaurrasyidin.
Dekatnya masa dinasti Umayyah dengan jahiliah, banyaknya peperangan yang
mereka lakukan, baik perang sipil maupun peperangan yang melawan musuh asing,
dan kondisi sosial ekonomi yang belum stabil di dunia islam, beberapa faktor
penentu lambatnya perkemnbangan intelektual pada masa ekspansi Islam. Namun
benih telah disebarkan, dan pohong pengetahuan yang tumbuh pada masa awal
dinasti Abbasiyah di Baghdad jelas telah berakar kuat pada masa sebelumnya.
1.2 Rumusan Masalah
a. Bagaimana Perluasan Wilayah Islam
pada Masa Dinasti Umayyah?
b. Bagiamana Perkembangan dan Kemajuan Islam pada Masa Dinasti Umayyah?
c. Apa yang Menyebabkan Kehancuran Dinasti Umayyah?
1.3 Tujuan Pembelajaran
a. Untuk Mengetahui Perluasan Wilayah Islam pada Masa Dinasti Umayyah.
b. Untuk Mengetahui Perkembangan dan Kemajuan Islam pada Masa Dinasti Umayyah.
c. Untuk Mengetahui Penyebab Kehancuran Dinasti Umayyah
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Perluasan Wilayah Islam Pada Masa Dinasti Umayyah
Ekspansi
gelombang kedua ini dimulai di zaman Dinasti Umayyah setelah era Khulafaur
Rasyidin berakhir. Mu’awiyah bin Abi Sufyan, sebagai pendiri dan khalifah
pertama pada dinasti itu, melanjutkan kebijakan ekspansi Islam yang sempat
terhenti sejak tahun-tahun akhir kekuasaan Usman bin Affan hingga kekuasaan Ali
bin Thalib tumbang.
Mu’awiyah
mengutus Uqbah bin Nafi untuk mengadakan ekspansi Islam ke wilayah Afrika Utara
hingga berhasil merebut Tunis. Di sanalah pada tahun 50 H, Uqbah mendirikan
kota baru bernama Qairawan yang selanjutnya terkenal sebagai salah satu pusat
kebudayaan Islam. Tidak cukup sampai di situ, Mu’awiyah juga berhasil
mengadakan perluasan wilayah Islam dari Khurasan sampai Sungai Oxus dan
Afghanistan sampai ke Kabul. Angkatan laut Muawiyah juga dengan gagah berani
menyerang Konstantinopel, ibu kota Bizantium.
Sedangkan
ekspansi ke timur ini kemudian terus dilanjutkan kembali pada masa khalifah
Abdul Malik bin Marwan. Abdul Malik bin Marwan mengirim tentara menyeberangi
sungai Oxus dan berhasil menundukkan Balkanabad (Turkeministan), Bukhara
(Uzbekistan), Khwarezmia (Iran), Fergana (Uzbekistan) dan Samarkand
(Uzbekistan). Tentaranya bahkan sampai ke India dan menguasai Balukhistan, Sind
dan daerah Punjab sampai ke Multan (Pakistan).
Dalam upaya perluasan
daerah kekuasaan Islam pada masa Bani Umayyah, Muawiyah selalu mengerahkan
segala kekuatan yang dimilikinya untuk merebut kekuasaan di luar Jazirah Arab,
antara lain upayanya untuk terus merebut kota Konstantinopel. Ada tiga hal
yang menyebabakan Muawiyah terus berusaha merebut Byzantium. Pertama,
karena kota tersebut adalah merupakan basis kekuatan Kristen Ortodoks, yang
pengaruhnya dapat membahayakan perkembangan Islam. Kedua, orang-orang
Byzantium sering melakukan pemberontakan ke daerah Islam. Ketiga,
Byzantium termasuk wilayah yang memiliki kekayaan yang melimpah. Pada waktu
Bani Umayyah berkuasa, daerah Islam membentang ke berbagai negara yang berada
di benua Asia dan Eropa. Dinasti Umayyah, juga terus memperluas peta
kekuasannya ke daerah Afrika Utara pada masa Kholifah Walid bin Abdul Malik.[1]
Ekspansi ke barat secara besar-besaran
dilanjutkan pada zaman Al-Walid bin Abdul-Malik. Masa pemerintahan al-Walid
adalah masa ketenteraman, kemakmuran dan ketertiban. Umat Islam merasa hidup
bahagia. Pada masa pemerintahannya yang berjalan kurang lebih sepuluh tahun itu
tercatat suatu ekspedisi militer dari Afrika Utara menuju wilayah barat daya,
benua Eropa, yaitu pada tahun 711 M. Setelah Aljazair dan Maroko dapat
ditundukan, Tariq bin Ziyad, pemimpin pasukan Islam, dengan pasukannya
menyeberangi selat yang memisahkan antara Maroko (magrib) dengan benua Eropa,
dan mendarat di suatu tempat yang sekarang dikenal dengan nama Gibraltar (Jabal
Thariq). Tentara Spanyol dapat dikalahkan. Dengan demikian, Spanyol menjadi
sasaran ekspansi selanjutnya. Ibu kota Spanyol, Cordoba, dengan cepatnya dapat
dikuasai. Dalam
peperangan tersebut, tentara Kristen Spanyol di bawah pimpinan Raja Roderick pun
dapat dikalahkan oleh pasukan Islam yang dipimpin Tariq bin Ziad. Dengan
kekalahan itu, pintu untuk memasuki Spanyol menjadi terbuka lebar. Toledo –yang
notabene ibukota Spanyol waktu itu—berhasil direbut. Sedangkan kota-kota lain
seperti Sevilla, Malaga, Elvira dan Cordova, juga tak luput dari penaklukan
tentara Islam.
Selanjutnya, Cordova kemudian menjadi ibukota
pemerintahan Islam yang tetap menginduk ke pusat pemerintahan Islam di Kufah.
Spanyol yang telah menjadi daerah Islam lantas dikenal dalam bahasa Arab dengan
sebutan Al-Andalus. Pasukan Islam memperoleh kemenangan dengan mudah karena
mendapat dukungan dari rakyat setempat yang sejak lama menderita akibat
kekejaman penguasa.[2]
Pada masa kekhalifahan Hisyam bin Abdul Malik,
pasukan Islam juga berupaya melakukan ekspansi ke wilayah Perancis. Saat itu,
upaya ekspansi terutama dipimpin oleh Abdurrahman bin Abdullah al-Ghafiqi.
Ekspansi tersebut juga dilakukan al-Ghafiqi karena termotivasi oleh kesuksesan
penaklukan atas Spanyol oleh Thariq bin Ziad dan Musa bin Nushair.
Bersama balatentaranya, al-Ghafiqi menyerang
kota-kota seperti Bordeux dan Poitiers. Dari kota Poiters, al-Ghafiqi berangkat
untuk menyerang kota Tours. Tetapi dalam perjalanan itu antara kedua kota itu,
ia ditahan oleh
Charles Martel. Ekspansi ke Perancis pun gagal. Al-Ghafiqi bersama pasukannya
akhirnya mundur kembali ke Spanyol. Meski sempat gagal karena ditahan Charles
Martel, pasukan Islam tetap berupaya menyerang beberapa wilayah di Perancis,
seperti Avignon dan Lyon pada tahun 743 M.
Pada zaman Dinasti Umayah pula, pulau-pulau
yang terdapat di Laut Tengah, Majorca, Corsica, Sardinia, Crete, Rhodes, Cypurs
dan sebagian Sicilla juga berhasil ditaklukkan oleh imperium Islam. Ekspansi
yang dilakukan Dinasti Umayyah inilah yang membuat Islam menjadi imperium besar
pada zaman itu. Berbagai bangsa yang melintasi berbagai ras dan suku di
berbagai pelosok dunia bernaung dalam satu pemerintahan Islam.
Dengan keberhasilan ekspansi ke beberapa
daerah, baik di timur maupun barat, wilayah kekuasaan Islam masa Bani Umayyah
ini betul-betul sangat luas. Daerah-daerah itu meliputi Spanyol, Afrika Utara,
Syria, Palestina, Jazirah Arab, Irak, sebagian Asia Kecil, Persia, Afganistan,
Pakistan, Turkmenistan, Uzbekistan, dan Kirgistan di Asia Tengah.[3]
Adapun Peta
Wilayah dan Demografi Islam pada Masa Bani Umayah, diantaranya:
1.
Peta Wilayah Islam pada Masa Bani Umayah
Masa
pemerintahan Bani Umayah terkenal sebagai suatu era agresif, di mana perhatian
tertumpu pada usaha perluasan wilayah dan penaklukan, yang terhenti sejak zaman
kedua khulafaur rasyidin terakhir. Hanya dalam jangka waktu 90 tahun, banyak
bangsa di empat penjuru mata angin beramai-ramai masuk ke dalam kekuasaan
Islam, yang meliputi tanah Spanyol, seluruh wilayah Afrika Utara, Jazirah Arab,
Syiria, Palestina, sebagian daerah Anatolia, Irak, Persia, Afghanistan, India
dan negeri-negeri yang sekarang dinamakan Turkmenistan, Uzbekistan dan
Kirgiztan yang termasuk Soviet Rusia.[4]
Menurut
Prof. Ahmad Syalabi, penaklukan militer di zaman Umayah mencakup tiga front
penting, yaitu sebagai berikut:
a.
Front melawan bangsa Romawi di Asia kecil dengan sasaran utama pengepungan ke
ibu kota Konstatinopel, dan penyerangan ke pulau-pulau di Laut Tengah.
b.
Front Afrika Utara. Selain menundukan daerah hitam Afrika, pasukan muslim juga
menyeberangi Selat Gibraltar, lalu masuk ke Spanyol.
c.
Front timur menghadapi wilayah yang sangat luas, sehingga operasi ke jalur ini
dibagi dua arah. Yang satu menuju utara ke daerah-daerah di seberang sungai
Jihun (Ammu Darye). Sedangkan yang lainya kearah selatan menyusuri Sind,
wilayah India bagian barat.[5]
Kejayaan
Dinasti Umayyah ditandai dengan capaian ekspansinya yang sangat luas. Langkah
ekspansi ini menunjukkan stabilitas politik Umayyah yang cukup mapan.[6] Perluasan di masa Umayyah meliputi:
a.
Perluasan ke Wilayah Barat
Muawiyah
berusaha mematahkan imperium Bizantium, dengan merebut Kota Konstantinopel.
Oleh karena itu selalu dilakukan pengintaian dan ekspedisi ke Wilayah Romawi
(Turki). Kota itu dikepung pada tahun 50 H/670 M kemudian pada tahun 53-61
H/672-680 M, namun tidak berhasil ditaklukan. Muawiyah membentuk pasukan laut
yang besar yang siaga di Laut Tengah dengan kekuatan 1.700 kapal. Dengan
kekuatan itu dia berhasil memetik berbagai kemenangan. Dia berhasil menaklukan
pulau Jarba di Tunisia pada atahun 49 H/669 M, kepulauan Rhodesia pada tahun 53
H/673 M, kepulauan Kreta pada tahun 55 H/624 M, kepulauan Ijih dekat
Konstatinopel pada tahun 57 H/680 M.[7] Muawiyah juga menyerang pulau-pulau
Sisilia dan pulau-pulau Arward.[8]
1)
Penaklukan di Afrika Utara
Pada zaman Utsman, orang-orang Arab telah mencapai Barqah
dan Tripoli di Libia, kemudian Muawiyah bertekad merebut kekuasaan dari Romawi
di Afrika Utara. Pada tahun 41
H/661 M Benzarat berhasil ditaklukkan, Qamuniah (dekat Qayrawan) ditaklukkan
pada tahun 45 H/ 665 M, Sasat juga ditaklukkan pada tahun yang sama. Uqbah bin
Nafi’ berhasil menaklukan Sirt dan Mogadishu, Tharablis, dan menaklukan Wadan
kembali.[9] Dengan dukungan orang Barbar dia
mengalahkan tentara Bizantium di Ifriqiyah (Tunisia). Pada tahun 670 M Uqbah mendirikan kota Qayrawan sebagai kota
Islam.[10] Kur sebuah wilayah di Sudan berhasil
pula ditaklukan. Akhirnya, penaklukan ini sampai ke wilayah Maghrib Tengah
(Aljazair).[11]
2)
Ekspansi ke Spanyol
Setelah
Berjaya di Afrika Utara, tentara Islam ingin melanjutkan ekspansinya ke daratan
Eropa. Tariq bin Ziyad berhasil menaklukkan kota Cordova, Granada dan Toledo
(Toledo di masa itu adalah ibu kota kerajaan Ghot). Kemudian ia berhasil
menaklukkan kota-kota Spanyol dan merebut kota Karma, Barcelona, dan Saragosa.[12][12]
b.
Perluasan ke Wilayah Timur
Kawasan
Timur (Negeri Asia Tengah dan Sindh). Negeri-negeri Asia Tengah meliputi
kawasan yang berada diantara sungai Sayhun dan Jayhun. Mayoritas penduduk di
kawasan itu adalah kaum pagnis. Pasukan Islam menyerang wilayah Asia Tengah
pada tahun 41 H/661 M. pada tahun 43 H/663 M mereka mampu menaklukan sebagian
wilayah Thakharistan pada tahun 45 H/665 M. mereka sampai ke wilayah Quhistan.
Pada tahun 44 H/664 M Abdullah bin Ziyad tiba di pegunungan Bukhari.
Pada tahun 44 H/664 M kaum muslimin menyerang wilayah Sindh dan
India. Penduduk di tempat itu selalu melakukan pemberontakan sehingga membuat
kawasan itu tidak selamanya stabil kecuali di masa pemerintahan Walid bin Abdul
Malik.[13]
2.2 Perkembangan dan Kemajuan Islam pada Masa Dinasti Umayyah
Pemindahan ibu kota pemerintahan Islam dari Madinah ke Damaskus
melambangkan zaman imperium baru dengan menggesernya untuk selama-lamanya dari
pusat Arab, yakni Madinah yang merupakan pusat agama dan politik kepada sebuah
kota yag kosmopolitan. Dari kota inilah Dinasti Umayyah melnjutkan ekspansi
kekuasaan Islam dan mengembangkan pemerintahan sentral yang kuat, yaitu sebuah
imperium Arab yang baru.
Daerah kekuasaannya, selain yang diwariskan oleh Khulafa ar-Rasyidin, telah
pula menguasai Andalu, Afrika Utara, Syam, Irak, Iran, Khurosan, terus ke Timur
sampai benteng Tiongkok. Dalam daerah kekuasaannya terdapat kota-kota
pusat kebudayaan, seperti: Yunani, Iskandariyah, Antiokia, Harran, Yunde,
Sahfur, yang dikembangkan oleh ilmuwan-ilmuwan beragama Yahudi, Nasrani dan
Zoroaster. Setelah masuk Islam para ilmuwan itu tetap memelihara ilmu-ilmu
peninggalan Yunani itu, bahkan mendapat perlindungan. Di antara mereka ada yang
mendapat jabatan tinggi di istama Khalifah. Ada yang menjadi dokter pribadi,
bendaharawan, atau wazir, sehingga kehadiran mereka, sedikit banyak,
mempengaruhi perkembangan ilmu pengetahuan.[14]
Selain wilayah kekuasan yang sangat luas, pada Dinasti Umayyah kebudayaan
juga mengalami perkembangan, antara lain seni sastra, seni rupa, seni suara,
seni bangunan, seni ukir, dan lain sebagainya. Pada masa ini, telah banyak
bangunan hasil rekayasa umat Islam dengan mengambil pola Romawi, Persia dan
Arab. Salah satu bangunan itu adalah mesjid Damaskus yang dibangun pada masa
pemerintahan Walid bin Abdul Malik dengan hiasan dinding dan ukiran yang sangat
indah. Arsitektur masjid ini telah memberi pengaruh terhadap seni bangunan
mesjid seluruh dunia. Dari masjid inilah, arsitektur Islam mulai mengenal
lengkungan, menara segi empat, dan maksurah (pagar tembok pada masjid
yang memisahkan banguan masjid dengan kuburan yang ada di dekatnya, rumah yang
luas, kisi-kisi atau layar kayu pada masjid untuk melindungi dan memisahkan
imam dari kebisingan).[15]
A. Masjid
Selama berabad-abad, Masjid Umayyah menjadi salah satu ikon ibukota
Dasmakus. Masjid telah berkali-kali mengalami berpindah tangan. Pada awalnya,
bangunan ini merupakan kuli Yupiter peninggalan Romawi kuno, yang kemudian
beralih fungsi menjadi Gereja St. John
the Baptist hingga akhirnya menjadi masjid dibawah kepemimpianan Dinasti
Umayyah.
Gambar Masjid Pada Masa Dinasti
Umayyah
Gambar Masjid Setelah Masa Dinasti Umayyah
Dalam sejarahnya, Masjid Umayyah memang berdiri di tanah
yang dianggap suci selama seidaknya 3.000 tahun. Sekitar 1.000 tahun SM. Kaum Aram membangun kuil di lokasi masjid, berdiri
sebagai tempat pemujaan terhadap Hadad, dewa badai dan petir. Sebuah Basal orthostat
(batu) yang brasal dari periode ini.
Menurut catatan para ahli
sejarah, pada awal abad pertama Masehi, bangsa Romawi tiba di Damaskus dan
membangun sebuah kuil besar untuk Dewa Jupiter atas kuil Aram. Kuil Romawi ini
berdiri diatas serambi empat persegi panjang (temenos) yang berukuran
sekitar 385 m x 305 m, dengan menara persegi di tiap sudutnya. Bagian dinding
luar temenos masih bertahan, namun hampir tak ada yang tersisa dari kuil
itu sendiri.
Pada akhir abad ke-4, kawasan kuil menjadi situs suci
Kristen. Kuil Jupiter dihancurkan dan sebuah Gereja dibangun di atasnya sebagai
persembahan kepada yohanes sang pembaptis, yang dianggap sebagai nabi (Nabi
Yahya) oleh umat kristen Islam.
Selain kuil kecil yang
berisi kepala sang Pembaptis Yohanes, di dalam kompleks masjid, tepatnya di
taman kecil sebelah dinding utara, terdapat makam Salahuddin al-Ayyubi, salah
satu panglima Islam yang terkenal dalam sejarah.
Masjid Umayyah direnovasi
beberapa kali akibat kebakaran pada tahun 1069, 1401, dan 1893. Pada tahun
2001, Paus Yohanes Paulus II mengunjungi masjid ini, terutama untuk mengunjungi
relik Yohanes Sang Pembaptis. Ini adalah pertama kalinya seseorang paus
berkunjung ke masjid.
Masjid Umayyah berbentuk
segi emapat dengan ukuran 1577 x 100 m, yang setengahnya adalah ruangan terbuka
dengan air mancur ditengahnya. Bentuk masjid ini telah menjadi inspirasi
berbagai mesjid indah di dunia, seperti Al-Azhar di Kairo, Masjid Agung Cordoba
di Spanyol, dan Masjid Agung Bursa di Turki.
Selain Masjid Umayyah yang
menjadi ikon kota Dasmakus, di kota Aleppo juga terdapat masjid yang dibangun
pada masa Dinasti Umayyah, yaitu Masjid Agung Alepoo atau Jami’ Bani Umayyah
al-kabir yang didirikan pada tahun 715 oleh Khalifah al-Walid I yang diteruskan
oleh penggantinya Sulaiman. Dan salah satu masjid yang juga terkenal di Alepoo
adalah Masjid Ar-Rahman, dengan arsitektur dan desain yang sangat megah.
B. Ilmu Pengetahuan
Dalam bidang ilmu pengetahuan, Dinasti Umayyah telah
berhasil mencapai kemajuan yang luar biasa. Pada saat itu, perkembangan tidak
hanya meliputi ilmu pengetahuan agama tetapi juga ilmu pengetahuan umum,
seperti ilmu kedokteran, ilmu pasti, filsafat, astronomi, geografi, sejarah,
bahasa, dan sebagainya. Kota yang menjadi pusat kajian ilmu pengetahuan, antara
lain Damaskus, Kufah, Makkah, Madinah, Mesir, Cordoba, Granda dan lain-lain.
Menurut Ibnu Jubair, di kota Dasmakus berdiri sebuah
rumah sakit tua dan sebuah rumah sakit baru. Rumah sakit pertama yang dibangun
oleh umat islam adalah RS Al-Nuri yang dibangun pada tahun 706 M oleh khalifah
Walid bin Abdul Malik.
C. Diwan
Diwan berasal dari bahasa persia diwanah
yang berarti catatan atau daftar. Nama ini kmudian berkembang menjadi empat
yang digunakan untuk menyimpan diwan. Agar lebih praktis nama ini
disingkat menjadi diwan. Pada mulanya, diwan ini didirikan
pertama kali oleh khalifah Umar bin Khathab.
Pada masa kekhalifahan Mu’awiyyah, setiap peraturan yang
dikeluarkan oleh khalifah harus disalin dalam satu register, kemudian yang asli
harus disegel dan dikirim ke alamat yang dituju. Selain itu ada juga diwan
lain yang posisinya berada di bawah ke empat tersebut (diwan pajak, diwan
persuratan, diwan penerimaan, dan diwan stempel), seperti diwan yang
mengatur keperluan polisi dan tentara.
D. Barid
Khalifah Mu’awiyyah telah dibentuk auatu badan atau
lembaga yang pada masa sekarang dikenal dengan nama kantor pos, yang bertugas
mengantarkan surat-surat maupun dokumentasi penting lainya ke suatu wilayah,
terutama dalam pemerintahan Islam. Lembaga ini disebut dengan badrid
yang telah dijadiakan oleh para kaisar Persia dan Romawi pada waktu itu.
Ketika Dinasti Umayyah diperintahkan oleh Khalifah Abdul
Malik bin Marwan, keberadaan barid ini semakin berperan penting dalam
jalannya roda pemerintahannya. Namun beberapa riwayat juga menyebutkan bahwa barid
disebut juga dengan Badan Intelijen Negara yang berfungsi sebagai penyampaian
berita-berita rahasia daerah kepada pemerintahan pusat.
E. Kepolisian
Pada awalnya, Dapertemen kepolisian merupakan bagian dari
Deapertemen kehakiman yang betugas melaksanakan perintah hakim dan
keputusan-keputusan pengadilan. Namun, Dapertemen terpisah dari kehakiman
dengan mengawasi dan mengurus soal-soal negara.
Pada masa ini juga, markas
kepolisian bertambah menjadi dua setelah Shalih bin Ali al-Abbasi mendirikan Darussyutrhah
al-‘Ulya, suatu markas kepolisian yang berlokasi di al-Mu’askar pada 132 H,
setelah sebelumnya telah didirikan pada Darussyutrhah as-sufla, yang
berlokasi di Fusfat.
F. Angkatan Perang
Kekuatan angkatan perang Dinasti Umayyah telah mampu
menaklukan kawasan hingga Eropa. Kemudian mereka melanjutkan kekuasaan yang
telah dibangun oleh Khalifah Umar bin Khathab yang sebelumnya telah membangun
Dapertemen Tentara yang bertugas mengidentifikasi nama-nama, sifat- sifat, gaji
dan pekerjaan mereka dan membagi tentara menjadi lima kesatuan, diantaranya:
a)
Jantung Tentara; berada di bagian tengah kesatuan,
b)
Kesatuan Kanan; berada disebelah kanan,
c)
Kesatuan Kiri; psisinya disebelah kiri,
d)
Kesatuan Pendahuluan; terdiri atas penunggang kuda yang berada di depan,
e)
Kesatuan Penggiring; berada di belakang kesatuan.
Selain berhasil membentuk kekuatan angkatan perang, salah satu
perkembangan pada Dinasti Umayyah adalah dibuatnya pabrik kapal laut pada tahun
54 H.
G. Peradilan
Pada masa Dinasti Umayyah,
peradilan dibagi menjadi tiga tingkatan sebagaimana berikut:
a)
Al-Qadla’: yaitu peradilan yang
menyelesaikan perkara-perkara yang berhubungan dengan agama.
b)
Al-Hisab, peradilan yang mengurus
masalah-masalah pidana.
2.3 Masa Keruntuhan Dan
Kehancuran Dinasti Umayyah
Sepeninggalan Umar
bin Al-Aziz, kekuasaan Bani Umayyah berada di bawah Khalifah Yazid bin Abdd
Al-Malik (720-724 M). Penguasa yang satu ini terlalu gandrung dengan kemewahan
dan kurang memperhatikan rakyatnya. Dengan latar belakang dan kepentingan etnis
politis, masyarakat menyatakan kontrofantasi terhadap pemerintahan Yazid. Bahkan
di zaman Hisyam bin Abdul Malik (724-743
M). Di zaman dia, muncul satu kekuatan baru yang menjadi tantangan berat bagi
pemerintahan Bani Umayyah. Kekuatan tersebut berasal dari golongan mawali
(umat islam non-arab yang berasal dari persia, Armena, dan lain-lain). Dalam perkembangan
berikutnya, kekuatan baru ini mampu menggulingkan dinasti Umayyah dan
menggantikannya dengan dinasti baru, yaitu Dinasti Abbas.
Sepeninggalan Hisyam bin Abdul Malik, kahlifah-khalifah
Bani Umayyah yang tampil bukan hanya lemah tetapi juga bermoral buruk. Akhirnya
pada tahun 750 M, daulat Umayyah digulingkan Bani Abbas yang bersekutu dengan
Abu Muslim Al-Khurasni. Marwan bin Muhammad, khalifah terakhir Bani Umayyah,
melarikan diri di Mesir, dan ditangkap dan dibunuh disana.
Adapun faktor-faktor yang menyebebkan dinasti Bani
Umayyah diantaranya:
1. Sistem
pergantian khalifah melalui garis keturunan adalah sesuatu yang baru bagi
tradisi Arab, yang lebih menentukan aspek senioritas, pengaturannya yang tidak
jelas. Ketidakjelasan sistem pergantian khalifah ini menyebabkan terjadinya
persaingan tidak sehat di kalangan anggota keluarga istana.
2. Latar belakang
terbentuknya dinasti Umayyah tidak dapat dipisahkan dari bebagai konflik
politik yang terjadi di masa Ali. Sisa-sisa Syiah (para pengikut Ali) dan
khawarij terus menjadi gerakan oposisi, baik secara terbuka seperti di masa
awal dan akhir maupun secara tersembunyi seperti di masa pertengahan kekuasaan
Bani Uamyyah. Penumpasan terhadap gerakan-gerakan inibanyak menyedot kekuatan
pemerintah.
3. Pada masa
kekuasaan Bani Umayyah, pertentangan etnis antara suku Arabiyah Utara
(Bani Qais) dan Arab Selatan (Bani KAlb) yang sudah ada sejak zaman sebelum
Islam semakin runcing. Perselisihan ini mengakibatkan para penguasa Bani
Umayyah mendapat kesulitan untuk menggalang persatuan dan kesatuan. Di samping
itu, sebagian besar golangan timur merasa tidak puas karna status Mawali itu
menggambarkan suatu inferioritas, ditambah dengan keangkuhan Bangsa Arab yang
diperhatikan pada masa Bani Umayyah.
4. Lemahnya
pemerintahan daulah Bani Uamayyah juga disebabkan oleh sikap hidup mewah di
lingkungan istana sehingga anak-anak khalifah tidak sanggup memikul beban berat
kenegaraan tatkala mereka mewarisi kekuasaan. Di samping itu, sebagian besar
golongan awam kecewa karena perhatian penguasa terhadap perkembangan agama
sangat kurang.
5.
Penyebab
langsung runtuhnya kekuasaan dinasti Bani Umayyah adalah munculnya kekuatan
baru yang dipelopori oleh keturunan Al-Abbas bin Abbas Al-muthalib. Gerakan ini
mendpat dukungan penuh dadri Bani Hasyim dan golongan Syiah. Dan kaum Mawali
yang merasa dikelasduakan oleh pemerintah Bani Umayyah.[17]
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Ekspansi
gelombang kedua ini dimulai di zaman Dinasti Umayyah setelah era Khulafaur
Rasyidin berakhir. Mu’awiyah bin Abi Sufyan, sebagai pendiri dan khalifah
pertama pada dinasti itu, melanjutkan kebijakan ekspansi Islam yang sempat
terhenti sejak tahun-tahun akhir kekuasaan Usman bin Affan hingga kekuasaan Ali
bin Thalib tumbang. Hanya dalam
jangka waktu 90 tahun, banyak bangsa di empat penjuru mata angin beramai-ramai
masuk ke dalam kekuasaan Islam, yang meliputi tanah Spanyol, seluruh wilayah
Afrika Utara, Jazirah Arab, Syiria, Palestina, sebagian daerah Anatolia, Irak,
Persia, Afghanistan, India dan negeri-negeri yang sekarang dinamakan
Turkmenistan, Uzbekistan dan Kirgiztan yang termasuk Soviet Rusia.
Sedangkan selama Dinasti Umayyah perkembangan
dan kemajuan islam membawa peninggalan yang samapai saat ini masi ada,
diantaranya: Masjid, Ilmu Pengetahuan, Diwan, Barid, Kepolisian (Shurthah), Angkatan
Perang, dan Peradilan.
Sepeninggalan Hisyam bin
Abdul Malik, kahlifah-khalifah Bani Umayyah yang tampil bukan hanya lemah
tetapi juga bermoral buruk. Akhirnya pada tahun 750 M, daulat Umayyah
digulingkan Bani Abbas yang bersekutu dengan Abu Muslim Al-Khurasni. Marwan bin
Muhammad, khalifah terakhir Bani Umayyah, melarikan diri di Mesir, dan
ditangkap dan dibunuh disana. Maka berakhirlah kekuasaan Dinasti Umayyah yang
berlangsung selama kurang lebih 90 tahun.
3.2 Saran
Dari makalah di atas sangat jauh dari sempurna, penulis sangat
mengharapkan kritik dan saran. Yang dimana sifatnya membangun untuk
kesempurnaan makalah. Dan penulis menyadari bahwa masih sangat banyak kesalahan
dari segi bahasa utamanya dari segi
sastra bahasa, dan susunan kata. Demikian. Maka itu penulis demi
kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Al-‘Usairy, Ahmad. 2013. Sejarah
Islam. Jakarta: Akbar Media.
Al-Azizi, Abdul Syukur. 2014.
Kitab Sejarah Peradaban Islam Terlengkap. Yogyakarta:
Saufa.
Fu’adi, Imam. 2000. Sejarah
Peradaban Islam. Yogyakarta: Teras.
Munir, Samsul. 2009. Sejarah
Peradaban Islam. Jakarta: Amzah.
Murodi. 2003. Sejarah Kebudayaan
Islam. Semarang: Karya Toha Putra.
Thoir, Ajid. 2004. Perkembangan
Peradaban di Kawasan Dunia Islam. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.
Yatim, Badri. 2000. Sejarah
Peradaban Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
[2]Ajid Thoir. Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam. (Jakarta:PT Raja
Grafindo Persada. 2004), hlm.40.
[6]Imam
Fu’adi, Sejarah Peradaban Islam, (Yogyakarta: Teras, 2000), hlm. 74.
[7]Ahmad
Al-‘Usairy, Sejarah Islam, (Jakarta: Akbar Media. 2013), hlm.188-189.
[14] Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik
Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam, Jakarta: Prenada Media, hal. 38-39.
[16]Abdul Syukur Al-Azizi, Kitab Sejarah
Peradaban Islam Terlengkap, (Cet.1, Yogyakarta: Saufa, 2014), Hlm. 157-168.